Di pasar global, Indonesia masih cenderung mengekspor lada dalam bentuk mentah, dengan negara tujuan utama adalah kawasan Asia dan Amerika.
Baca juga: Fluktuasi Harga Kopi dan Insentif bagi Petani Indonesia
Vietnam menjadi pasar terbesar bagi lada Indonesia dengan porsi 18 persen, diikuti Amerika Serikat (16 persen), China (15 persen), dan India (12 persen).
Jepang juga menyerap sekitar 8 persen ekspor lada nasional, sementara negara-negara Eropa seperti Jerman, Belanda, dan Prancis hanya berkontribusi 1–5 persen dari total ekspor.
Meski demikian, potensi ekspor lada Indonesia masih sangat terbuka lebar. Negara-negara seperti China dan kawasan Timur Tengah menunjukkan permintaan yang terus tumbuh.
Namun, volume ekspor Indonesia ke kawasan ini masih tergolong kecil dibandingkan dengan besarnya potensi pasar mereka.
Dengan strategi pemasaran yang lebih agresif, peningkatan mutu produk, serta dukungan peremajaan tanaman dan teknologi pascapanen, Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan daya saing lada di pasar ekspor dunia.
Transformasi dari eksportir bahan mentah menuju produsen produk hilir bernilai tinggi juga menjadi jalan penting untuk mendongkrak posisi Indonesia dalam rantai nilai global rempah-rempah.
Produktivitas lada Indonesia masih menjadi tantangan besar dalam memperkuat daya saing global. Rata-rata hasil panen hanya sekitar 700–800 kg per hektar, jauh tertinggal dari Vietnam yang mampu menghasilkan hingga 2,6 ton per hektar.
Rendahnya produktivitas ini disebabkan keterbatasan varietas unggul, praktik budidaya yang belum intensif, serta minimnya pemupukan dan sistem irigasi yang efisien.
Dampaknya, biaya produksi per unit menjadi tinggi, dan harga lada Indonesia sulit bersaing di pasar ekspor.
Pemerintah pun mendorong peningkatan produktivitas melalui adopsi teknologi budidaya modern dan penguatan kapasitas petani.
Di sisi lain, persoalan mutu pascapanen juga turut menghambat performa ekspor lada Indonesia.
Baca juga: Randu: Serat Emas Putih yang Terlupakan
Proses tradisional perendaman dalam pembuatan lada putih sering menyebabkan kontaminasi mikroba seperti Salmonella dan E. coli, serta menghasilkan aroma tidak sedap (off-flavor).
Penelitian menunjukkan bahwa kadar bakteri dalam lada putih Indonesia sering kali melampaui batas aman standar ekspor, bahkan menimbulkan klaim pengembalian dari negara tujuan.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan swasta mulai memperkenalkan teknologi semi-mekanis untuk memperpendek waktu rendaman dan memperbaiki mutu produk akhir.