Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kuntoro Boga
Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementan

Praktisi, Peneliti dan Pengamat Pertanian

Mengenal Gula Bit: Inovasi Pemanis

Kompas.com - 1 Februari 2025, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA berbicara tentang tanaman pemanis, tebu mungkin menjadi komoditas pertama yang terlintas di benak banyak orang, karena selama berabad-abad telah menjadi sumber utama produksi gula dunia.

Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan aspek kesehatan dan dampak lingkungan, banyak pihak mulai mencari alternatif pemanis yang lebih berkelanjutan.

Gula bit, stevia, dan tanaman palma (seperti kelapa, aren, nipah, dan lontar) semakin dilirik karena lebih efisien dalam penggunaan sumber daya.

Hingga saat ini, tebu masih mendominasi industri gula global, dengan 80 persen produksi gula dunia berasal dari tebu (International Sugar Organization, 2023), di mana Brasil, India, dan Thailand menjadi tiga produsen terbesar.

Baca juga: Peluang Stevia dalam Diversifikasi Industri Gula

Namun, budidaya tebu membutuhkan lahan luas, air dalam jumlah besar, serta menghasilkan emisi karbon tinggi sehingga menimbulkan tantangan keberlanjutan.

Dalam konteks ini, gula bit muncul sebagai kandidat kuat dalam transisi menuju industri pemanis yang lebih ramah lingkungan, karena memiliki jejak karbon lebih rendah dan lebih efisien dalam penggunaan lahan serta air.

Dengan keunggulan ini, gula bit menjadi alternatif yang semakin relevan dalam memenuhi tuntutan global terhadap produksi pangan yang lebih berkelanjutan.

Budidaya gula bit: Keunggulan dan tantangan

Gula bit (Beta vulgaris) telah menjadi salah satu sumber utama produksi gula selain tebu, terutama di negara-negara beriklim sedang.

Tanaman ini menjadi pilihan utama di wilayah tersebut karena memiliki kombinasi manfaat dalam aspek agroekoklimat, lingkungan, kesehatan, dan ekonomi.

Bit gula tumbuh subur di tanah yang kaya nutrisi dan memiliki siklus panen yang lebih singkat dibandingkan tebu, sehingga lebih efisien dalam pemanfaatan lahan.

Proses produksinya dimulai dari penanaman biji hingga panen, lalu bit yang telah dipanen dikirim ke pabrik pengolahan.

Di pabrik, bit dicuci bersih sebelum melalui tahap ekstraksi, di mana irisan bit direndam dalam air panas untuk melarutkan gula yang terkandung di dalamnya. Jus bit mentah yang dihasilkan kemudian menjadi bahan utama dalam produksi gula.

Setelah tahap ekstraksi, jus bit mentah dimurnikan melalui proses pemanasan dan penambahan bahan kimia tertentu untuk mengendapkan kotoran.

Larutan gula yang telah bersih dipanaskan kembali hingga menjadi sirup kental, yang kemudian didinginkan perlahan untuk membentuk kristal gula.

Kristal ini kemudian dipisahkan dari cairan sisa menggunakan teknik sentrifugasi. Untuk menghasilkan gula putih berkualitas tinggi, kristal gula dapat menjalani proses pemurnian tambahan, seperti pencucian dan pemutihan.

Selain menghasilkan gula, industri gula bit juga memanfaatkan produk sampingan dari proses produksinya.

Baca juga: Mengoptimalkan Keunggulan Tanaman Obat Indonesia

Ampas bit yang kaya nutrisi sering digunakan sebagai pakan ternak, sementara limbah cair dapat diolah kembali menjadi produk sampingan lain atau digunakan kembali dalam proses produksi untuk mengurangi limbah.

Efisiensi penggunaan bahan baku ini mencerminkan kontribusi gula bit terhadap keberlanjutan industri pangan.

Keunggulan lain dari gula bit adalah kemampuannya untuk tumbuh di daerah dengan curah hujan lebih sedikit dibandingkan tebu, serta siklus pertumbuhannya yang lebih singkat, hanya 5-6 bulan, dibandingkan tebu yang memerlukan 12-18 bulan untuk panen.

Selain itu, bit gula juga lebih hemat air dibandingkan tebu, yang membutuhkan irigasi intensif di daerah tropis yang sering mengalami kelangkaan air.

Dengan berbagai keunggulan tersebut, gula bit menjadi alternatif pemanis yang lebih efektif dan berkelanjutan bagi industri pangan global.

Kementerian Pertanian (Kementan) memiliki peran strategis dalam pengembangan budidaya dan produksi gula bit di Indonesia.

Salah satu inisiatif penting adalah kerja sama antara Kementan dengan PT Gula Bit Nusantara dengan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) dan PT Perkebunan Nusantara X (PTPN X) untuk mengembangkan bit gula tropis.

Jenis ini dipilih karena memiliki siklus panen yang lebih pendek, toleran terhadap cekaman lingkungan, serta potensi produksi yang tinggi, mencapai 130 ton per hektare.

Selain itu, melalui program Kerja Sama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N), Badan Litbang Pertanian (Saat ini menjadi BSIP) bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya, guna mengembangkan teknologi budidaya bit gula yang sesuai dengan kondisi agroklimat Indonesia.

Baca juga: Bahan Bakar Nabati Alternatif Selain Sawit

Adaptasi industri dan pasar

Meskipun gula bit memiliki berbagai keunggulan dalam efisiensi sumber daya dan keberlanjutan lingkungan, pengembangannya masih menghadapi beberapa tantangan utama.

Salah satu hambatan terbesar adalah biaya awal yang tinggi, terutama dalam pembangunan infrastruktur pengolahan yang belum sepopuler industri tebu.

Investasi yang diperlukan untuk mendukung produksi gula bit, termasuk fasilitas ekstraksi dan pemurnian, masih tergolong mahal, sehingga membatasi ekspansi ke negara-negara yang belum memiliki industri gula bit yang mapan.

Selain itu, proses mekanisasi dalam budidaya bit juga membutuhkan teknologi khusus, yang menambah beban finansial bagi petani yang ingin beralih dari tanaman lain ke produksi gula bit.

Selain kendala biaya, adaptasi pasar juga menjadi tantangan besar, karena sebagian besar konsumen dan industri makanan masih terbiasa menggunakan gula berbasis tebu.

Agar gula bit dapat diterima secara luas, diperlukan strategi pemasaran yang kuat, edukasi konsumen mengenai manfaatnya, serta insentif dari pemerintah untuk meningkatkan daya saingnya di pasar global.

Perubahan regulasi juga menjadi faktor yang dapat memperlambat pertumbuhan industri ini, terutama di negara-negara yang menerapkan proteksionisme terhadap industri gula tebu domestik.

Kebijakan yang membatasi impor gula bit atau memberikan subsidi besar bagi gula tebu dapat menghambat kompetisi yang sehat dan memperlambat diversifikasi sumber gula secara global.

Oleh karena itu, kebijakan yang lebih fleksibel serta kerja sama internasional sangat diperlukan untuk mendukung transisi menuju produksi gula yang lebih berkelanjutan.

Dengan permintaan gula dunia yang terus meningkat, diproyeksikan mencapai 185 juta ton pada 2023 (USDA, 2023), diversifikasi sumber gula menjadi keharusan untuk mengurangi dampak lingkungan.

Budidaya tebu tidak hanya membutuhkan lahan yang luas, tetapi juga konsumsi air yang besar serta menghasilkan emisi karbon yang signifikan.

Baca juga: Kacang Mete: Komoditas Potensial di Lahan Marginal

Salah satu dampak yang paling mengkhawatirkan adalah eksploitasi lahan, di mana di Brasil saja budidaya tebu membutuhkan 2 juta hektare lahan, sering kali mengorbankan kawasan hutan hujan Amazon.

Selain itu, setiap kilogram gula tebu membutuhkan 1.500–2.000 liter air, menjadikannya ancaman bagi daerah dengan keterbatasan sumber daya air.

Dengan berbagai tantangan ini, gula bit muncul sebagai alternatif yang lebih efisien, karena memiliki jejak karbon yang lebih rendah dan lebih hemat dalam penggunaan lahan serta air.

Pada tahun 2022, produksi gula bit di Uni Eropa mencapai 16 juta ton (Eurostat), berkontribusi hingga 20 persen dari total pasokan gula global.

Dengan meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan dalam industri pangan, gula bit berpotensi menjadi bagian penting dari transisi menuju komoditas pemanis yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Jangan Korbankan Teh: Investasi Hijau untuk Masa Depan
Jangan Korbankan Teh: Investasi Hijau untuk Masa Depan
Varietas Tanaman
Mengungkap Potensi Kedawung yang Terabaikan
Mengungkap Potensi Kedawung yang Terabaikan
Varietas Tanaman
Briket Arang Kelapa: Limbah Jadi Komoditas Ekspor
Briket Arang Kelapa: Limbah Jadi Komoditas Ekspor
Varietas Tanaman
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Tanaman Penyelamat Lingkungan: Mencegah Banjir dan Longsor
Varietas Tanaman
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Potensi Sabut Kelapa yang Masih Terbuang
Varietas Tanaman
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Pelajaran Swasembada Gula Nasional
Varietas Tanaman
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Mengandaikan Generasi Z Menjadi Agripreneurship
Tips
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Transformasi Kelapa: Dari Komoditas Tradisional ke Industri Bernilai Tinggi
Varietas Tanaman
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Aroma Kopi Jawa Timur: Potensi dari Lereng Ijen hingga Lembah Argopuro
Varietas Tanaman
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Ekonomi Babel: Lada Sebagai Andalan, Bukan Timah
Varietas Tanaman
Masa Depan Pala Banda
Masa Depan Pala Banda
Varietas Tanaman
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Revitalisasi Kebun Teh: Menyatukan Alam, Wisata, dan Harapan
Varietas Tanaman
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Pasar Organik dan Produk Perkebunan
Varietas Tanaman
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
DNA Petani Kita, Tangguh di Era Modernisasi
Perawatan
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Menikmati Renyahnya Potensi Kenari Ternate
Varietas Tanaman
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau