
Proyeksi harga ke depan mengarah pada tiga skenario. Pertama, jika ekspor terus meningkat tanpa pertumbuhan produksi, harga bisa naik 5–10 persen per tahun, berisiko mengurangi pasokan dalam negeri.
Kedua, skenario ideal adalah stabilisasi produksi disertai hilirisasi, yang bisa mendorong kenaikan harga moderat sebesar 1–3 persen per tahun.
Ketiga, pembatasan ekspor tanpa strategi perlindungan harga dapat membuat harga stagnan, bahkan turun, sehingga mengancam pendapatan petani.
Faktor ekologis turut memengaruhi fluktuasi harga. Perubahan iklim menyebabkan musim panen tidak menentu dan hasil produksi menurun.
Di Sulawesi Utara, musim kemarau panjang menyebabkan penurunan panen hingga 20 persen. Anomali cuaca seperti banjir dan hujan ekstrem juga menurunkan kualitas buah kelapa, yang berdampak langsung pada harga jual di tingkat produsen.
Baca juga: Kopi Artisanal dan Evolusi Selera Konsumen Modern
Di sisi lain, tantangan geopolitik dan perdagangan internasional juga menjadi faktor penting. Ketergantungan pada pasar ekspor membuat harga kelapa sangat sensitif terhadap kebijakan dagang negara mitra, seperti tarif impor dan hambatan teknis.
Sementara itu, infrastruktur logistik dalam negeri yang belum merata menyebabkan disparitas harga antarwilayah, memperbesar ketimpangan dan ketidakstabilan pasar kelapa nasional.
Jika kita ingin menjadikan kelapa sebagai tumpuan ekspor sekaligus penopang ekonomi pedesaan, maka langkah-langkah transformasi mendasar tak bisa ditunda.
Potensi kelapa yang begitu besar akan sia-sia bila tidak diimbangi dengan pembaruan strategi dari hulu ke hilir. Ini bukan sekadar persoalan pertanian, melainkan soal ketahanan ekonomi masyarakat desa yang menggantungkan hidup pada komoditas ini.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menggencarkan program peremajaan kebun kelapa.
Di banyak daerah, petani masih mengandalkan pohon-pohon tua yang sudah melewati masa produktif optimal. Tanpa pembaruan tanaman, produktivitas akan terus menurun dari tahun ke tahun.
Pemerintah perlu memperluas distribusi varietas unggul, baik kelapa dalam maupun kelapa genjah, serta memberikan pendampingan teknis yang menyasar langsung ke kelompok tani.
Langkah kedua adalah menjadikan hilirisasi sebagai prioritas pembangunan perkebunan kelapa.
Menjual kelapa dalam bentuk mentah tidak lagi cukup. Nilai tambah baru muncul ketika kelapa diolah menjadi produk seperti santan UHT, virgin coconut oil (VCO), gula kelapa kristal, tepung kelapa, dan sabun alami berbasis minyak kelapa.
Produk-produk ini bukan hanya meningkatkan pendapatan, tapi juga membuka lapangan kerja lokal.