TANGGAL 24 September setiap tahun selalu hadir sebagai pengingat janji besar yang pernah ditulis negara: tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pada hari itulah tahun 1960, Presiden Soekarno menandatangani Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960), sebuah tonggak yang diharapkan mampu mengakhiri ketimpangan warisan kolonial. Tiga tahun kemudian, lewat Keppres No. 169/1963, tanggal itu diabadikan sebagai Hari Tani Nasional.
UUPA lahir dari pengalaman panjang bangsa ini menghadapi ketidakadilan agraria sejak masa kolonial. Pada masa itu, tanah dikuasai perkebunan asing, sementara rakyat pribumi hanya menjadi buruh atau penggarap tanpa hak. Sistem hukum pun terbelah: ada hukum agraria barat untuk kepentingan modal asing dan hukum adat yang dipinggirkan.
Kehadiran UUPA dimaksudkan untuk menghapus dualisme itu, menyatukan hukum tanah nasional, dan meletakkan prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial.
Enam dekade berlalu, kita mesti bertanya jujur: apakah semangat itu masih hidup, atau hanya tinggal catatan di buku sejarah?
Baca juga: Hari Tani Nasional di Karanganyar, Petani dan Mahasiswa Sampaikan 7 Tuntutan ke Bupati
Ir. Soekarno meniatkan UUPA sebagai revolusi sosial. Tanah tidak boleh jadi alat penindasan, melainkan sumber kehidupan petani, kaum miskin desa, dan masyarakat adat. Namun perjalanan panjang pemerintahan menunjukkan betapa janji itu sering tertunda.
Orde Baru memilih jalan Revolusi Hijau. Hasilnya, Indonesia sempat menorehkan swasembada beras pada 1984. Tetapi agenda redistribusi tanah terabaikan, sementara ketergantungan pada pupuk kimia dan benih impor meninggalkan masalah jangka panjang.
Era Reformasi membuka kembali ruang demokrasi dan meluncurkan program reforma agraria, namun implementasi sering tersendat oleh tumpang tindih aturan dan tarik-menarik kepentingan.
Hari ini, di bawah rezim baru, jargon kedaulatan pangan kembali diangkat. Tetapi fakta di lapangan tidak sepenuhnya berpihak pada petani. Harga beras melonjak meski stok tersedia, alih fungsi lahan terus berlangsung, konflik agraria tak kunjung padam, dan regenerasi petani masih minim.
Ironisnya, petani yang menjadi tulang punggung penyedia pangan justru termasuk kelompok paling miskin di negeri ini. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan rata-rata kepemilikan lahan petani hanya 0,5 hektar, dan jutaan keluarga petani masuk kategori gurem.
Baca juga: Petani Curhat Tanah Dirampas, DPRD Jambi Akan Panggil Sejumlah Pengusaha
Di Sumatera, problem agraria paling menonjol tampak pada kasus eks-HGU PTPN II di Langkat dan Deli Serdang. Ribuan hektar tanah yang seharusnya bisa didistribusikan kepada rakyat justru berlarut-larut menjadi konflik berkepanjangan.
Bahkan di Deli Serdang, sebagian lahan eks-HGU digunakan untuk pengembangan kawasan perumahan mewah oleh salah satu pengembang besar. Lahan yang semestinya dapat memberi akses tanah bagi petani kecil justru berubah fungsi menjadi komoditas properti bernilai tinggi.
Di Jawa, tanah semakin sempit. Petani Kendeng di Rembang berjuang mempertahankan sumber air dari ekspansi tambang semen. Mereka menolak ketika lahan pangan diubah menjadi kawasan industri, sebuah perlawanan yang mengingatkan kembali bahwa tanah bukan hanya komoditas, melainkan ruang hidup.
Di Kalimantan, hutan adat tergusur tambang batubara dan perkebunan. Kasus di Kutai Kartanegara memperlihatkan bagaimana masyarakat adat kehilangan ruang hidup demi konsesi yang luas. Prinsip UUPA tentang fungsi sosial tanah dan pengakuan hak ulayat diabaikan.
Di Sulawesi, booming nikel di Morowali dan Konawe membawa devisa, tetapi mengorbankan sawah, kebun, dan pesisir. Petani dan nelayan terdesak oleh proyek industri ekstraktif yang mengabaikan keberlanjutan pangan lokal.