
Permintaan global terhadap produk sabut terus meningkat seiring tren penggunaan bahan baku berkelanjutan. Negara-negara seperti Cina, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan Korea Selatan menjadi importir utama serat sabut dan cocopeat.
Ekspor Indonesia beberapa tahun terakhir menunjukkan tren naik, dengan nilai ekspor mencapai hampir USD 20 juta pada 2022 dan terus bertumbuh. Harga cocofiber dunia yang stabil naik 6–8% per tahun menunjukkan prospek pasar yang sangat menjanjikan bagi pelaku industri.
Meski demikian, porsi Indonesia di pasar global masih kecil dibanding potensinya. India, misalnya, mengekspor lebih dari satu juta ton produk sabut senilai ratusan juta dolar, sementara ekspor Indonesia masih sekitar puluhan ribu ton dan sebagian besar dalam bentuk setengah jadi. Padahal pasar dunia sangat luas, terutama di Eropa Barat dan Amerika Utara yang membutuhkan material ramah lingkungan untuk karpet, insulasi, matras, hingga konstruksi.
Dengan posisi Indonesia sebagai produsen kelapa terbesar kedua dunia, peluang untuk memperkuat industri sabut sangat besar—baik sebagai penambah devisa non-migas maupun sebagai sarana pemberdayaan petani dan pengembangan ekonomi hijau nasional.
Baca juga: Siswa SMAN 1 Yogyakarta Ciptakan Sepatu Anti Bau dari Sabut Kelapa
Pembangunan industri sabut kelapa nasional menghadapi sejumlah tantangan mendasar, terutama rendahnya kesadaran petani terhadap nilai ekonominya. Selama bertahun-tahun, sabut dianggap limbah tak bernilai sehingga banyak dibuang atau dibakar. Padahal, data ekspor menunjukkan sabut memiliki potensi pendapatan tambahan yang nyata.
Karena itu, perubahan pola pikir menjadi kunci, petani perlu diedukasi untuk melihat sabut sebagai komoditas bernilai dan didorong bermitra dengan pengolah agar rantai pasok dapat berjalan.
Di sisi lain, keterbatasan teknologi membuat Indonesia tertinggal dari negara pesaing seperti India dan Sri Lanka. Minimnya mesin pengurai sabut modern, fasilitas pengeringan, dan peralatan pres menyebabkan kualitas serat tidak seragam dan volume produksi sulit stabil.
Investasi pada teknologi tepat guna sangat penting untuk meningkatkan kapasitas, memastikan kualitas serat ekspor, dan mendorong hilirisasi sehingga produk akhir seperti karpet, matras, atau panel komposit dapat diproduksi di dalam negeri.
Dukungan kebijakan juga diperlukan, baik berupa insentif pembiayaan, pelatihan teknis, maupun fasilitas sertifikasi ekspor, agar industri sabut berkembang lebih cepat dan tidak berhenti pada ekspor bahan mentah saja.
Tantangan lain muncul dari struktur rantai pasok kelapa Indonesia yang melibatkan jutaan rumah tangga petani kecil yang tersebar di banyak pulau. Pengumpulan sabut dalam skala besar menuntut model logistik yang efisien, misalnya melalui koperasi atau kemitraan hulu–hilir.
Contoh sukses di beberapa daerah menunjukkan bahwa pengorganisasian petani dapat meningkatkan mutu olahan hingga masuk pasar ekspor. Standarisasi kualitas, transparansi harga, dan koordinasi antar pelaku sangat penting agar keberlanjutan pasokan terjaga dan kepercayaan pembeli internasional meningkat.
Baca juga: Apa Manfaat Sabut Kelapa untuk Tanaman? Ini Penjelasannya
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang