
Secara makro, pasar briket arang kelapa dunia menunjukkan pertumbuhan yang konsisten dan menjanjikan.
Cognitive Market Research memperkirakan permintaan komoditas ini meningkat rata-rata 4,3 persen per tahun pada 2024–2031, dengan nilai pasar yang pada 2024 diperkirakan mencapai lebih dari 421 juta dollar AS.
Kawasan Asia Pasifik mencatat pertumbuhan paling cepat, terutama karena kebutuhan industri dan penyulingan air. Sementara Eropa dan Amerika Utara tetap menjadi pasar terbesar berkat preferensi mereka terhadap bahan bakar panggangan yang eco-friendly.
Pertumbuhan pasar yang merata di berbagai kawasan ini menegaskan posisi briket arang kelapa sebagai produk dengan daya saing tinggi dan masa depan cerah dalam rantai pasok energi alternatif global.
Bagi Indonesia, perkembangan tersebut membuka peluang ekonomi yang sangat signifikan. Nilai ekspor briket arang kelapa Indonesia sangat signifikan, dengan data 2023 menunjukkan ekspor arang briket diperkirakan mencapai 120 juta dollar AS (Rp 1,716 triliun).
Dengan pertumbuhan rata-rata 15 persen per tahun, menurut BPS. Negara-negara Timur Tengah seperti Irak, Arab Saudi, Turkiye, UEA, dan Yordania menjadi pembeli utama, disusul China yang membutuhkan karbon aktif untuk industri kecantikan, serta Jepang, Jerman, Belanda, Belgia, dan Korea Selatan.
Baca juga: Diplomasi Hijau Indonesia: Antara Retorika dan Realitas
Ekspansi pasar hingga ke Eropa Barat menunjukkan bahwa Indonesia bukan sekadar produsen, melainkan pemain utama yang diperhitungkan dalam industri briket arang kelapa global.
Dengan kualitas yang diakui dunia, briket Indonesia kini berdiri sebagai simbol keunggulan hilirisasi komoditas kelapa Nusantara.
Briket arang kelapa merupakan salah satu contoh keberhasilan hilirisasi produk pertanian yang mampu meningkatkan nilai tambah komoditas secara signifikan.
Tempurung kelapa yang awalnya bernilai rendah, ketika diolah menjadi arang dan dipadatkan menjadi briket, harganya melonjak berlipat ganda.
Studi Pusat Kajian Anggaran DPR RI mencatat bahwa harga arang tempurung kelapa sebagai bahan baku hanya sekitar Rp 6.000 per kg, tetapi setelah menjadi briket dapat mencapai Rp 14.000 per kg di pasar domestik.
Di pasar ekspor, nilainya bahkan menembus sekitar 1.300 dollar AS per ton atau setara Rp 18.500 per kg.
Dengan potensi devisa hingga Rp 6,8 triliun per tahun, briket arang kelapa menjadi bukti nyata bahwa pengolahan komoditas di dalam negeri jauh lebih menguntungkan dibanding sekadar menjual bahan mentah.
Namun, kesuksesan hilirisasi ini tidak terlepas dari tantangan. Industri briket arang kelapa membutuhkan pasokan tempurung yang stabil, sementara praktik ekspor kelapa utuh dalam jumlah besar justru mengurangi ketersediaan bahan baku di dalam negeri.
HIPBAKI menyoroti bagaimana banyak petani memilih menjual kelapa bulat, sehingga limbah tempurung yang seharusnya diolah menjadi nilai tambah malah hilang ke luar negeri. Kondisi ini membuat sejumlah produsen briket kesulitan memenuhi permintaan ekspor.