Selain menghasilkan gula, industri gula bit juga memanfaatkan produk sampingan dari proses produksinya.
Baca juga: Mengoptimalkan Keunggulan Tanaman Obat Indonesia
Ampas bit yang kaya nutrisi sering digunakan sebagai pakan ternak, sementara limbah cair dapat diolah kembali menjadi produk sampingan lain atau digunakan kembali dalam proses produksi untuk mengurangi limbah.
Efisiensi penggunaan bahan baku ini mencerminkan kontribusi gula bit terhadap keberlanjutan industri pangan.
Keunggulan lain dari gula bit adalah kemampuannya untuk tumbuh di daerah dengan curah hujan lebih sedikit dibandingkan tebu, serta siklus pertumbuhannya yang lebih singkat, hanya 5-6 bulan, dibandingkan tebu yang memerlukan 12-18 bulan untuk panen.
Selain itu, bit gula juga lebih hemat air dibandingkan tebu, yang membutuhkan irigasi intensif di daerah tropis yang sering mengalami kelangkaan air.
Dengan berbagai keunggulan tersebut, gula bit menjadi alternatif pemanis yang lebih efektif dan berkelanjutan bagi industri pangan global.
Kementerian Pertanian (Kementan) memiliki peran strategis dalam pengembangan budidaya dan produksi gula bit di Indonesia.
Salah satu inisiatif penting adalah kerja sama antara Kementan dengan PT Gula Bit Nusantara dengan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) dan PT Perkebunan Nusantara X (PTPN X) untuk mengembangkan bit gula tropis.
Jenis ini dipilih karena memiliki siklus panen yang lebih pendek, toleran terhadap cekaman lingkungan, serta potensi produksi yang tinggi, mencapai 130 ton per hektare.
Selain itu, melalui program Kerja Sama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N), Badan Litbang Pertanian (Saat ini menjadi BSIP) bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya, guna mengembangkan teknologi budidaya bit gula yang sesuai dengan kondisi agroklimat Indonesia.
Baca juga: Bahan Bakar Nabati Alternatif Selain Sawit
Meskipun gula bit memiliki berbagai keunggulan dalam efisiensi sumber daya dan keberlanjutan lingkungan, pengembangannya masih menghadapi beberapa tantangan utama.
Salah satu hambatan terbesar adalah biaya awal yang tinggi, terutama dalam pembangunan infrastruktur pengolahan yang belum sepopuler industri tebu.
Investasi yang diperlukan untuk mendukung produksi gula bit, termasuk fasilitas ekstraksi dan pemurnian, masih tergolong mahal, sehingga membatasi ekspansi ke negara-negara yang belum memiliki industri gula bit yang mapan.
Selain itu, proses mekanisasi dalam budidaya bit juga membutuhkan teknologi khusus, yang menambah beban finansial bagi petani yang ingin beralih dari tanaman lain ke produksi gula bit.
Selain kendala biaya, adaptasi pasar juga menjadi tantangan besar, karena sebagian besar konsumen dan industri makanan masih terbiasa menggunakan gula berbasis tebu.